Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar
>> Wednesday, December 12, 2007

Neraca Satelit Pariwisata | Tourism Satellite Account - TSA
![]() | |
DUA siswa TK Al Halus Kabupaten Bandung memeragakan sebuah permainan "galah porog" berupa menjaga lawan agar tidak menerobos garis yang dijaga, pada "Festival Kaulinan Urang Lembur" yang diselenggarakan TK Graha Ananda dan didukung Pemprov Jabar dan HU ”Pikiran Rakyat”, di Bale Anak Jalan Sumatera Bandung, Sabtu (27/8).* Dudi Sugandi/”PR” |
Cisarua area, roughly 15 km north of Bandung, is very scenic, easily accessible, and less crowded than Lembang-Maribaya area. The main attractions here are the three waterfalls along the Cimahi River and the small idyllic Lake Lembang (Situ Lembang). The village of Cisarua constitutes the focal point oh the area.
Read more...A favorite spot of volcanic activity to visit is the Domas Crater, located about a kilometer down the northeastern slope. A wide, well-marked stairway leads down from the car park at Kawah Ratu. The walk takes about thirty minutes.
![]() | |
GAPURA pertama yang menuju Kampung Ciptarasa yang kini telah ditinggalkan Abah Anom.* Nanang S/”Galura” |
![]() | |
GAPURA pertama yang menuju Kampung Ciptarasa yang kini telah ditinggalkan Abah Anom.* Nanang S/”Galura” |
![]() |
PEDAGANG empal gentong melayani pembelinya di sebuah festival makanan tradisional di IBCC Bandung, pekan lalu. Saat ini, kecenderungan pilihan masyarakat kembali ke makanan kampung, menimbulkan fenomena yang cukup menggembirakan.* DUDI SUGANDI/”PR” |
MEREKA yang belum pernah lagi menginjakkan kaki ke Bandung selama lima atau enam tahun belakangan ini, mungkin akan merasakan atmosfer yang berbeda jika datang ke kota ini sekarang.
Beberapa tahun lalu, berjalan-jalan di sini terasa tengah berada di Eropa. Bukan karena tiba-tiba turun salju, tapi karena begitu mudah mendapatkan makanan khas negara Eropa di kota yang sebenarnya kaya dengan makanan lokal ini.
Tak hanya restoran besar, warung pinggir jalan pun menyediakan menu steak sebagai sajian utama. Makan makanan orang bule, pada masa itu menjanjikan naiknya harga diri alias gengsi.
"Waktu itu malu rasanya mengakui belum mengetahui apa bedanya sirloin dan tenderloin steak," kata Wijaya (35), mengenang motivasi utamanya saat mencoba mengonsumsi makanan Eropa ini.
Di kalangan anak sekolah kota besar, merayakan ulang tahun teman berarti menyantap steak, piza, atau spageti.
"Teman-teman yang punya uang banyak biasanya merayakannya di restoran-restoran besar. Yang anggaran ulang tahunnya terbatas dari ortu, boleh mentraktir di warung-warung steak pinggir jalan," kata Taya (20), mahasiswi Universitas Padjadjaran Bandung. Masa tergila-gila makanan Eropa ini dialami Taya saat ia duduk di bangku SMP dan berlanjut hingga SMU, 6 tahun ke belakang.
Kini cobalah bertanya pada anak sekolah menengah. Selain menu makanan Eropa, pilihan mereka lebih beragam. Masih memakai seragam sekolah, di sebuah restoran yang menyajikan makanan tradisional khas Sunda mereka berlomba menyendok nasi dari bakul, setelah sebelumnya beramai-ramai menyanyikan lagu ulang tahun.
"Beberapa teman yang berulang tahun sekarang memang sering mengajak makan di restoran tradisional. Rasanya unik aja gitu, bosen juga sih makan steak," kata Wita (16), siswi sebuah SMA favorit di Kota Bandung.
Di kalangan dewasa, pamor makanan tradisional sudah lebih dulu mencuat. Pada rapat-rapat di perkantoran, organisasi, seminar, dan sebagainya, orang pernah begitu fanatik dengan kue-kue kecil rasa Eropa, seperti kue keju dan tar. Kini makanan itu sedikit demi sedikit mulai tereliminasi, tergantikan oleh jajan pasar yang dikemas lebih menarik, rapi, dan enak tentu saja.
Seperti perdebatan lebih dulu mana antara telur dan ayam, begitu juga yang terjadi di dunia kuliner.
Entah karena semakin banyak pelanggan yang ingin back to basic, maka warung, restoran bahkan hotel berbintang pun menyediakan menu "kampung". Atau karena semakin banyak tempat yang menyediakan menu tradisional sehingga selera masyarakat tergiring? Tak jadi soal, lingkaran ini membuat orang sadar ternyata makanan khas Indonesia pun enak, bahkan lebih oke di lidah kita.
KECENDERUNGAN pilihan masyarakat kembali ke makanan kampung, menimbulkan fenomena yang mencengangkan. Baik individu maupun pengusaha makanan berlomba menjadi yang paling "kampungan". Nama-nama tempat yang menjanjikan suasana kampung pun bertebaran di mana-mana.
Bahkan sebuah restoran yang menyajikan makanan khas Sunda, melalui iklannya yang dipasang di pinggir jalan tol menuju gerbang tol Pasteur, menjanjikan pelanggannya akan merasakan suasana dan makanan "kampung" di tempatnya.
Dengan moto, "ternyata masih kampungan", reklame ini menggiring masyarakat yang ingin merasakan nikmatnya makanan "kampung" mengunjungi tempat yang ditata bersuasana kampung juga. Dengan musik pengiring lagu Sunda, di restoran tersebut orang duduk dalam bangku-bangku yang terbuat dari bambu khas desa.
Restoran ini termasuk pendatang baru di Kota Bandung. Jauh sebelumnya sudah bermunculan restoran "kampung" lainnya. Untuk mendapatkan suasana desa, bahkan pengusaha berani melakukan investasi besar membangun sebuah restoran yang mencerminkan suasana desa.
Fenomena ini juga terjadi di luar Kota Bandung. Salah satu pencitraan kampung melalui papan nama. Mendengar nama Restoran "Mulih Ka Desa" yang berada di Garut, image langsung terpeta dengan suasana dan makanan khas kampung.
Selain Mulih Ka Desa, ada lagi restoran bernuansa kampung di daerah Garut yang berhasil mencuri perhatian masyarakat. Selain makanan juga karena atmosfer desa yang sangat kental. Sebut saja Restoran Sari Papandayan yang berada di daerah Cisurupan, tepat di depan Gunung Cikurai Garut.
Menurut sang pimpinan resto sekaligus bungalo, Sulaeman Abdurachim (47), sejak dibuka tahun 2005 lalu, tingkat kunjungan ke tempat ini mengalami kenaikan yang sangat berarti. "Hingga delapan puluh persen," kata Sulaeman.
Sulaeman memanfaatkan benar suasana pedesaan. Ia menyinkronkan menu masakan tradisional dengan tempat makanan berupa lesehan.
Soal atmosfer desa inilah yang membuat Sofyan (45) dan keluarganya senang berpetualang mencari pengganjal perut di tempat yang "bernada" kampungan ini.
"Di tempat seperti ini, saya tidak usah sibuk memikirkan sopan santun. Tak usah sibuk memilih giliran sendok mana yang harus digunakan," kata Sofyan sambil tertawa.
Yang dimaksud Sofyan, jika menyantap makanan Eropa tentu saja ia harus memikirkan etiket makanan. Table manner mengharuskan orang menggunakan sendok yang tepat untuk menyantap sup, makanan utama atau makanan penutup.
Senada dengan Sofyan, ada Cyndy (42, sebut saja begitu), yang sangat menyukai makan di tepat yang ada lesehan ala kampung. "Saya selalu mencari tempat makan yang ada lesehannya. Di sini saya bisa selonjoran, bersila atau menumpangkan tangan di kaki, makan seperti abang becak. Ha..ha..ha," kata penduduk Jakarta yang sedang berakhir pekan di Bandung, Sabtu lalu.
Tren kembalinya selera masyarakat ke makanan lokal diakui pula oleh Avianti Sukarmadijaya (27) pemilik Def Resto, sebuah restoran yang menyajikan makanan khas Sunda, di Jalan Cihampelas Bandung.
"Tampaknya orang sudah mulai bosan dengan makanan luar negeri. Ini membuat mereka kembali ke masakan tradisional," ujar Avi yang sudah menyajikan makanan lokal seperti nasi liwet, nasi tutug oncom hingga nasi liwet sejak tahun 2003.
Sebelum tahun itu, masih sulit orang mendapatkan nasi tutug oncom atau nasi liwet di rumah makan. Kini rumah makan dengan penawaran jenis masakan itu bertaburan bak cendawan di musim hujan.
Bukan saja makanan khas Sunda. Di daerah Parahyangan ini pun makanan asal seberang pulau berani tampil. Makin banyak restoran yang mengkhususkan diri menyajikan makanan khas seberang, dari mulai mi Aceh hingga makanan melayu lainnya.
Bahwa makanan resep nenek ternyata bisa dijual tak lepas dari heboh-heboh antrean makanan tradisional di beberapa tempat. Sebut saja nama "Surabi Imut" di kawasan Jln. Setiabudhi. Walau harus antre dan menunggu, mereka tak keberatan menunggu giliran penjual selesai membakar serabi pesanan mereka.
Orang-orang kreatif di belakang makanan tradisional inilah yang memelopori bangkitnya makanan lokal. Betapa tidak kreatif, serabi yang aslinya hanya dua rasa, oncom dan kinca gula, bisa dimodifikasi mulai dari rasa sosis hingga keju.
Kemasan yang dibuat orang-orang modern inilah salah satu faktor yang menyadarkan orang bahwa jika dikemas dengan baik makanan tradisional bisa punya nilai lebih. (Uci Anwar).
Sumber: Pikiran Rakyat, Jumat, 25 Mei 2007.
Dwi Bayu Radius
"Bandung itu surganya makanan enak dan harganya murah," kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Daerah Jawa Barat Ries Hermawan. Tidak hanya wisatawan lokal yang menyukai makanan khas Bandung, turis asing pun menggemarinya. Mereka menyukai masakan Sunda.
Ries mengatakan, makanan di Bandung yang sering dicari wisatawan lokal adalah surabi, batagor, dan goreng oncom. Makanan tersebut bukan hanya terkenal di Bandung atau kota-kota sekitarnya saja, tetapi juga di Indonesia.
Ungkapan semacam itu kerap diutarakan untuk menjelaskan daya tarik kuliner Bandung yang sudah terkenal. Berbagai penganan khas Bandung, seperti Soes Merdeka, Brownies Primarasa, Pisang Keju Kartika Sari, dan Brownies Kukus Amanda adalah oleh-oleh yang rutin dibeli wisatawan.
Meski demikian, Bandung sebenarnya memiliki sisi lain dari daya tarik kulinernya. Jika menginginkan cita rasa lain, wisatawan dapat mencoba sajian dengan nuansa klasik. Rumah makan zaman dulu atau "jadul" bisa dipertimbangkan pelancong yang ingin berlibur di Bandung. Tempat makan semacam itu sudah ada sejak puluhan tahun lalu, bahkan sejak zaman Belanda.
Salah satu tempat pilihan adalah Rasa Bakery and Cafe di Jalan Tamblong yang sudah berdiri sejak tahun 1945. Hidangan yang ditawarkan terutama es krim dan berbagai macam roti, sebagian masih menggunakan resep orisinal dan hingga kini dibuat tanpa bahan pengawet.
Manajer Rasa Bakery and Cafe Andreas Christianto mengatakan, tempat itu awalnya dimiliki pengusaha Belanda. Sebelumnya, Rasa bernama Hazes. Sekitar 40 tahun lalu, Rasa dibeli warga lokal.
Sampai sekarang, Rasa masih banyak didatangi kaum tua untuk sekadar bernostalgia, termasuk di antaranya turis Belanda. Beberapa makanan, antara lain, saucys brood dengan pilihan sapi, ayam, atau keju. Merg pijp adalah kue yang dibungkus campuran terigu dan gula, sedangkan amandel adalah bolu gulung dengan kacang. Ada pula kue tar, seperti black forest dan gateaux d african.
Es krim yang dijual berbentuk cone dan cup dengan rasa vanila, coklat, pisang, dan rum raisin. Es krim rasa rum raisin paling banyak dibeli. Rasa yang dulu tidak begitu luas semakin diperlebar. Namun, bangunan aslinya tetap dipertahankan.
Kalau tak ingin menyantap makanan, sebuah toko kopi tua bisa menjadi pilihan. Namun, jangan membayangkan pengunjung dapat duduk santai sambil meneguk nikmatnya kopi di sana. Pabrik Kopi Aroma, demikian nama tempat itu, hanya menjual kopi tanpa menyuguhkan minuman.
Pabrik Kopi Aroma berada di pertigaan Jalan Banceuy dengan Jalan Pecinan Lama. Buka pukul 08.00-16.00, kadang lebih awal atau lebih lambat. Tempat itu sudah buka sejak tahun 1930-an. Kopi yang dihasilkan pun diolah menggunakan mesin yang dibuat pada masa itu.
Tempat lain yang tak kalah mengandung nilai historis adalah Sumber Hidangan di Jalan Braga. Tempat itu sudah ada sejak tahun 1929. Dulu namanya Het Snoephuis. Berbagai jenis kue, misalnya kaasstengel atau mozaik, dan makanan, seperti nasi goreng, bihun, bakmi, dan bistik, dijual di sana.
Di Jalan Braga juga terdapat Kafe dan Restoran Braga Permai yang dulu bernama Maison Bogerijen. Tempat yang menjual bermacam roti itu dulu merupakan persinggahan delegasi Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955. Makanan yang dijual ketika itu tak jauh berbeda dengan saat ini.
Adapun di Jalan Otto Iskandar Dinata, Toko Roti Sidodadi sudah berdiri sejak tahun 1950-an. Resep pembuatannya masih sama dengan yang dijual dulu. Beberapa roti yang dijual adalah gambang, kismis, dan tawar frans. Toko tersebut masih terlihat sederhana.
Sezaman dengan toko roti Sidodadi, Restoran Queen di Jalan Dalem Kaum dibuka pendirinya tahun 1954. Menunya, antara lain, adalah capcay, mi goreng, dan fuyunghai. Restoran itu juga sempat dikunjungi tamu-tamu negara pada saat KAA berlangsung.
Tempat-tempat makan lain yang bisa dipertimbangkan adalah Warung Nasi Ma’ Uneh dan Sawios. Meski tidak dibuka sejak zaman Belanda, usaha yang sudah dijalankan setidaknya sejak tahun 1970-an itu bisa dikatakan relatif lama.
Keunikan lain dari kedua tempat itu, pengunjung harus rela melewati gang kecil yang tidak cukup dilewati mobil. Ma’ Uneh terletak di Jalan Terasana. Mereka yang ingin ke sana harus masuk sebuah jalan kecil di samping Rumah Sakit Melinda, Jalan Pajajaran.
Tempat itu buka pukul 07.00-16.00. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Bandung Eddy Rachmat mengatakan, semasa dirinya masih kuliah tahun 1970-an warung Ma’ Uneh sebenarnya menjadi tempat menunggu pemilik mobil ketika kendaraannya sedang diperbaiki di bengkel. Kini, usaha Ma’ Uneh semakin besar dengan penyajian lebih bersih dan tempat yang nyaman.
Adapun Warung Nasi Sawios terletak di gang kecil sebelah Bandoengsche Melk Centrale (BMC), Jalan Aceh. Pemiliknya adalah Siti Aminah (47) yang akrab disapa Ibu Hajjah. Ciri khas Sawios yang juga menginspirasi nama warung nasi tersebut adalah selera humor Ibu Hajjah. Setiap kali tamu membayar selalu diawali dengan kata Sunda "sawios" yang berarti ya sudah atau biarlah.
"Sawios Bu, genep las ribeng. Tengkyu. Sawios, permios, pribados, adios, amigos, extra joss, mentos, trimos," kata Siti kepada seorang pelanggannya. Jika diartikan kira-kira, "Sudahlah Bu, Rp 16.000 saja. Terima kasih."
Sementara rentetan kata-kata selanjutnya hanya ditambahkan untuk membuat konsumen tersenyum. Kekhasan lain, Siti menggunakan istilah yang lucu, misalnya london untuk sayur lodeh, sogun untuk soun, dan parabola untuk jengkol.
Istilah lain adalah susu maya untuk usus ayam, jerman untuk jeruk manis, kopasus untuk kopi susu panas, imas ge-er untuk ikan mas goreng, dan teroris untuk telor dadar. Siti mengatakan, hidangan yang menjadi andalan adalah semur jengkol.
Lauk lain yang banyak disukai adalah goreng kentang kering dan ayam goreng. Siti berjualan sejak tahun 1971. Warung nasi Sawios buka pukul 08.00-17.00. Agar tak kecewa, perlu diperhatikan bahwa warung itu tutup setiap hari Minggu dan hari libur nasional.
Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Juni 2007.
Located in Lembang, this place is only within 30 minutes drive from Bandung (when the traffic is light). Tangkuban Prahu is actually a volcanic mountain. The shape resembles an upturned boat, hence, the name. (Tangkuban Prahu in Sundanese means, more or less, upturned boat) There is a legend involved in the creation of this mountain.
In the east of Bandung lie several cities which have magnificent thinks to explore. First destination is Cipacing, it’s a village that is famous for wayang golek (wooden puppet) production. Passing Cipacing around 45 minutes driving, you’ll arrive at Cangkuang Temple. A village that has the only one Hindu temple that remains. Pass Cangkuang you’ll arrive in Cipanas, Garut, natural hot water area, where you can relax and loosen up your muscles. The natural hot water in Cipanas is different with the one in Lembang. It’s built from natural gas and it does not contain sulfur. The last destination is Garut. It’s a city that is famous for its leather products. Walk around the city and explore the amazing and nice hideaway places. Last but not least the perfect hideaway is Kampong Sampireun. A resort that offers a quiet, unique and natural beauty.
The Sight:
• Cipacing
• Cangkuang
• Cipanas
• Garut
Information:
• Distance 61 km
• Time 4-5 km
• Monday - Sunday
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Kenangan - Panorama kawah yang indah menarik minat pengunjung untuk menjadikannya latar belakang saat berfoto sebagai kenang-kenangan.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Pasar Cenderamata - Puluhan kios yang menjual berbagai macam cenderamata berdiri di area sekitar kawah. Sebagai daerah tujuan wisata, kawasan ini mampu memberikan penghidupan bagi ratusan hingga ribuan warga setempat.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Angklung - Alat musik tradisional ini dapat dibeli sebagai oleh-oleh khas dari tanah Sunda.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Batas - Dinding kawah yang kering dan gersang bertolak belakang dengan punggungan salah satu puncak yang hijau penuh tumbuhan.
Dari Batu - Seorang pedagang tengah menanti pembeli dagangan aksesorinya yang terbuat dari batu alam.
New Zealand travel operators seem to have a love affair with printed promotional material. And with good reason: it's a good way to tout your offerings to the two million travellers coming through the gates each year. But as more travellers research and make bookings online, and as laptops, mobile phones and personal digital assistants make their way into backpacks and carry-on luggage, is it time to look at more modern, technologically advanced marketing tools? Have the old stand-bys seen their day?
There is a huge range of technology now available to tourists.
Next generation websites might mean something quite significant like virtual tours or interactive television ads.Several years ago Tourism New Zealand experimented with an interactive television ad in the UK but Tim Deane says they found the technology worked better on the internet. The 90-second clip on the Tourism New Zealand website now allows a visitor to start and stop the video and click to learn more about an area or activity. Click again and go to the main website with operator information and booking options.
Another tool - video streaming - is one TUANZ's Ernie Newman is keeping an eye on. He sees enormous potential for guests to use operator's websites to share experiences with friends overseas. Hook up a video camera, broadcast jumps or jet boat rides and encourage clients to text message their mates back home to tune in and watch them - in real time.
A Matter of Trust
Not everyone is going to invite their workmates to witness their bungy jump, but they're still going to talk about it when they get home. Word of mouth has been described as the single most powerful marketing tool and the internet has given everyone a very large mouth. On Yahoo's travel section alone there are over 250,000 user recommendations.
And then there are blogs - or web logs. These online diaries allow travellers to share their experiences with the world.
"There are plenty of sites that facilitate creating travel journals," says Shift's Che Tamahori, who envisages on-line diaries growing and developing as systems get more depth. One thing that impresses him is photo blogging. Instead of words, travellers post their photos on a site like www.flickr.com and let the world see their holiday.
Other than making sure you provide a great experience for "bloggers" to write about, how can operators or RTOs actively use blogs in marketing campaigns? One way is to follow the lead of the Pennsylvania Tourism Offi ce in the United States. Earlier this year, it offered six "bloggers" space on its VisitPA.com website to report on their travels around Pennsylvania. The bloggers cover the demographics: a family looking for adventure, a single 'history-buff', two women in search of culture, a motorcycle rider, a mountain biker and a young couple looking for the 'hip' side of the state. Sure the blogs might need a bit of editing to suit a government-funded site, but the disclaimer is clear: content is the opinion of bloggers, not the Tourism Office. It may be out of reach for a small operator to manage such a campaign, but how about using your visitor's blogs like you do written testimonials? Ask customers if they're keeping a blog and direct potential visitors to their site.
If you don't feel comfortable with that but still want to use virtual word of mouth, electronic postcards on your site can be shared with friends back home - give them a voucher for sending fi ve. It's an easy way for travellers to stay in touch and an easy way to reach potential visitors. Tourism New Zealand has that option, so does Contiki Holidays. Contiki also has a message board where travellers can 'meet' before a trip and/or share experiences afterwards.
Regardless of how hi-tech your marketing tools, the goal should remain to provide the visitor with a quality experience - word of mouth will happen, so give them only the best to talk about. That's the mission at Whale Watch.
"Our backbone philosophy isn't about technology or print advertising," says Executive Assistant, Thomas Kahu. "It's focused on the experience, so visitors become ambassadors." But some of the tools that Whale Watch has for those 'ambassadors' are pretty high tech. "It's a powerful experience," says Thomas Kahu, "So we use powerful memorabilia."
Like DVDs - that use animation and multimedia to help the viewer feel they are experiencing the real thing. People ask for a copy of the boat trip. They want to become a story teller themselves and share the experience with friends and family."
Future web-based applications are aimed to let clients 're-experience' their visit. Passwords will allow visitors - who are back home in the offi ce - to fi nd out where the whales they spotted are swimming.
Phone Home
Brothers Geoffrey and Derek Handley founded The Hyperfactory, an Auckland and Hong Kong-based company that specialises in mobile communications. They foresee a lot of activity in the tourist sector and believe mobile phones and PDA's (personal digital assistants) will be key tools to reach tourists.
A campaign currently running in Hong Kong sees a tourist receive a picture or a video of their experience in Hong Kong on their mobile phone. They then send the image (that happens to have a watermark of the operator's website) to friends back home. When the traveller sends five of these 'post cards' they go into a draw to win a prize. There are other potential applications.
Hypothetically, says Handley, a tourist could send a text message to a mate and receive a voucher for a rafting trip or a plane ride. Send another message and receive an accommodation discount.
Where am I?
Global positioning systems (GPS) use satellites to pinpoint location. As a marketing tool its simplest use is to include your GPS coordinates with your address. Sure it's a bit of an assumption that guests will be travelling with a GPS, but consider this: cars are coming off the assembly line with GPS installed, at least one rental company (Avis) has units available for hire and New Zealand's own NAVMAN has sold around 70,000 hand held and in-car GPS systems since launching them on the market just last year. GPS is becoming common, with several thousand NAVMAN in operation on our roads right now.
KRUSE uses GPS to provide a commentary for car users.
Auckland-based Jonathan Kruse has developed a talking tour guide based on GPS. Kruse's systems are available for hire: plug it into the cigarette lighter and drive around New Zealand listening to recorded narrations.
Kruse says the system is a perfect way to market to a tourist at just the right location. Next year he plans to enhance the systems and offer limited advertising space. (See page 12)
Disconnected
Lawrence Smith, founder of Cabbage Tree Creative, a web development company for the tourism industry, sees a bit of a 'disconnect' in New Zealand tourism. "A campaign currently running in Hong Kong sees a tourist receive a picture or a video of their experience or adventure on their mobile phone. They then send the image (that happens to have a watermark of the operator's website) to friends back home."
"Travel consumers in general are very IT savvy. But," he says, "tourism operators are generally far less IT aware. As a result, you have a market that is genuinely interested in technology and actively use it to plan and book vacations - but the industry is less capable of delivering it."
So, don't go burning the stacks of brochures that are cluttering up the store room just yet. But next time you're at the electronics store, you might want to pick a few brochures up on how to use new technology.
Source: Tourism News
© Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008
Back to TOP