Kuliner "Jadul", Sisi Lain Daya Tarik Bandung
>> Wednesday, November 28, 2007
Dwi Bayu Radius
"Bandung itu surganya makanan enak dan harganya murah," kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Daerah Jawa Barat Ries Hermawan. Tidak hanya wisatawan lokal yang menyukai makanan khas Bandung, turis asing pun menggemarinya. Mereka menyukai masakan Sunda.
Ries mengatakan, makanan di Bandung yang sering dicari wisatawan lokal adalah surabi, batagor, dan goreng oncom. Makanan tersebut bukan hanya terkenal di Bandung atau kota-kota sekitarnya saja, tetapi juga di Indonesia.
Ungkapan semacam itu kerap diutarakan untuk menjelaskan daya tarik kuliner Bandung yang sudah terkenal. Berbagai penganan khas Bandung, seperti Soes Merdeka, Brownies Primarasa, Pisang Keju Kartika Sari, dan Brownies Kukus Amanda adalah oleh-oleh yang rutin dibeli wisatawan.
Meski demikian, Bandung sebenarnya memiliki sisi lain dari daya tarik kulinernya. Jika menginginkan cita rasa lain, wisatawan dapat mencoba sajian dengan nuansa klasik. Rumah makan zaman dulu atau "jadul" bisa dipertimbangkan pelancong yang ingin berlibur di Bandung. Tempat makan semacam itu sudah ada sejak puluhan tahun lalu, bahkan sejak zaman Belanda.
Salah satu tempat pilihan adalah Rasa Bakery and Cafe di Jalan Tamblong yang sudah berdiri sejak tahun 1945. Hidangan yang ditawarkan terutama es krim dan berbagai macam roti, sebagian masih menggunakan resep orisinal dan hingga kini dibuat tanpa bahan pengawet.
Manajer Rasa Bakery and Cafe Andreas Christianto mengatakan, tempat itu awalnya dimiliki pengusaha Belanda. Sebelumnya, Rasa bernama Hazes. Sekitar 40 tahun lalu, Rasa dibeli warga lokal.
Sampai sekarang, Rasa masih banyak didatangi kaum tua untuk sekadar bernostalgia, termasuk di antaranya turis Belanda. Beberapa makanan, antara lain, saucys brood dengan pilihan sapi, ayam, atau keju. Merg pijp adalah kue yang dibungkus campuran terigu dan gula, sedangkan amandel adalah bolu gulung dengan kacang. Ada pula kue tar, seperti black forest dan gateaux d african.
Es krim yang dijual berbentuk cone dan cup dengan rasa vanila, coklat, pisang, dan rum raisin. Es krim rasa rum raisin paling banyak dibeli. Rasa yang dulu tidak begitu luas semakin diperlebar. Namun, bangunan aslinya tetap dipertahankan.
Kalau tak ingin menyantap makanan, sebuah toko kopi tua bisa menjadi pilihan. Namun, jangan membayangkan pengunjung dapat duduk santai sambil meneguk nikmatnya kopi di sana. Pabrik Kopi Aroma, demikian nama tempat itu, hanya menjual kopi tanpa menyuguhkan minuman.
Pabrik Kopi Aroma berada di pertigaan Jalan Banceuy dengan Jalan Pecinan Lama. Buka pukul 08.00-16.00, kadang lebih awal atau lebih lambat. Tempat itu sudah buka sejak tahun 1930-an. Kopi yang dihasilkan pun diolah menggunakan mesin yang dibuat pada masa itu.
Tempat lain yang tak kalah mengandung nilai historis adalah Sumber Hidangan di Jalan Braga. Tempat itu sudah ada sejak tahun 1929. Dulu namanya Het Snoephuis. Berbagai jenis kue, misalnya kaasstengel atau mozaik, dan makanan, seperti nasi goreng, bihun, bakmi, dan bistik, dijual di sana.
Di Jalan Braga juga terdapat Kafe dan Restoran Braga Permai yang dulu bernama Maison Bogerijen. Tempat yang menjual bermacam roti itu dulu merupakan persinggahan delegasi Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955. Makanan yang dijual ketika itu tak jauh berbeda dengan saat ini.
Adapun di Jalan Otto Iskandar Dinata, Toko Roti Sidodadi sudah berdiri sejak tahun 1950-an. Resep pembuatannya masih sama dengan yang dijual dulu. Beberapa roti yang dijual adalah gambang, kismis, dan tawar frans. Toko tersebut masih terlihat sederhana.
Sezaman dengan toko roti Sidodadi, Restoran Queen di Jalan Dalem Kaum dibuka pendirinya tahun 1954. Menunya, antara lain, adalah capcay, mi goreng, dan fuyunghai. Restoran itu juga sempat dikunjungi tamu-tamu negara pada saat KAA berlangsung.
Tempat-tempat makan lain yang bisa dipertimbangkan adalah Warung Nasi Ma’ Uneh dan Sawios. Meski tidak dibuka sejak zaman Belanda, usaha yang sudah dijalankan setidaknya sejak tahun 1970-an itu bisa dikatakan relatif lama.
Keunikan lain dari kedua tempat itu, pengunjung harus rela melewati gang kecil yang tidak cukup dilewati mobil. Ma’ Uneh terletak di Jalan Terasana. Mereka yang ingin ke sana harus masuk sebuah jalan kecil di samping Rumah Sakit Melinda, Jalan Pajajaran.
Tempat itu buka pukul 07.00-16.00. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Bandung Eddy Rachmat mengatakan, semasa dirinya masih kuliah tahun 1970-an warung Ma’ Uneh sebenarnya menjadi tempat menunggu pemilik mobil ketika kendaraannya sedang diperbaiki di bengkel. Kini, usaha Ma’ Uneh semakin besar dengan penyajian lebih bersih dan tempat yang nyaman.
Adapun Warung Nasi Sawios terletak di gang kecil sebelah Bandoengsche Melk Centrale (BMC), Jalan Aceh. Pemiliknya adalah Siti Aminah (47) yang akrab disapa Ibu Hajjah. Ciri khas Sawios yang juga menginspirasi nama warung nasi tersebut adalah selera humor Ibu Hajjah. Setiap kali tamu membayar selalu diawali dengan kata Sunda "sawios" yang berarti ya sudah atau biarlah.
"Sawios Bu, genep las ribeng. Tengkyu. Sawios, permios, pribados, adios, amigos, extra joss, mentos, trimos," kata Siti kepada seorang pelanggannya. Jika diartikan kira-kira, "Sudahlah Bu, Rp 16.000 saja. Terima kasih."
Sementara rentetan kata-kata selanjutnya hanya ditambahkan untuk membuat konsumen tersenyum. Kekhasan lain, Siti menggunakan istilah yang lucu, misalnya london untuk sayur lodeh, sogun untuk soun, dan parabola untuk jengkol.
Istilah lain adalah susu maya untuk usus ayam, jerman untuk jeruk manis, kopasus untuk kopi susu panas, imas ge-er untuk ikan mas goreng, dan teroris untuk telor dadar. Siti mengatakan, hidangan yang menjadi andalan adalah semur jengkol.
Lauk lain yang banyak disukai adalah goreng kentang kering dan ayam goreng. Siti berjualan sejak tahun 1971. Warung nasi Sawios buka pukul 08.00-17.00. Agar tak kecewa, perlu diperhatikan bahwa warung itu tutup setiap hari Minggu dan hari libur nasional.
Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Juni 2007.
0 comments:
Post a Comment