SEARCH TOURISM

Eksotisme "Dapur Keliling"

>> Tuesday, December 11, 2007

ANDREAS MARYOTO

Setiap hari sekitar pukul 23.00, sebuah gerobak milik seorang pedagang menyusuri jalan-jalan di Kampung Ligu Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah. "Te… sate…," teriaknya dengan nada khas. Di samping teriakan tersebut, bunyi gemerincing potongan seng yang ditaruh di bawah dan tergesek dengan aspal jalan menjadi ciri khas kedatangan penjual sate asal Madura itu. Gerobak makanan adalah sesuatu yang biasa, tetapi ternyata menyimpan eksotisme. Gerobak makanan memiliki kisah panjang dan unik hingga banyak orang asing terpesona. Joyce Haryono, seorang pengajar bahasa Inggris di salah satu lembaga kursus di Tangerang, Banten, yang berketurunan Belanda, menceritakan kekagetan orang-orang asing yang tinggal di Indonesia ketika mendengar teriakan-teriakan aneh pada pagi dan malam hari. Ketika mereka mendengar teriakan yang aneh itu, mereka penasaran. Kemudian orang asing biasanya keluar rumah. Setelah melihat orang yang berteriak-teriak, mereka paham. Mereka lalu menyebutnya sebagai "kitchen going around" alias "dapur keliling". Dalam teks-teks mengenai pengenalan kebudayaan Indonesia, "dapur keliling" ini menjadi salah satu hal yang diperkenalkan karena di mata mereka termasuk hal yang unik. Lama kelamaan orang asing yang tinggal diIndonesia akhirnya terbiasa dengan teriakan tersebut hingga mereka malah menjadi pembeli berbagai makanan meski kadang bila menggunakan ukuran higienitas mereka, makanan ini tergolong tidak bersih. Eksotisme "dapur keliling" yang bisa menyediakan makanan mulai dari bubur, gulai, soto, rujak, dan tentu yang khas adalah sate itu mengalahkan rasa "jijik" mereka.

Kisah panjang

Bila sekarang banyak muncul gerobak makanan dengan roda dua, sebenarnya "dapur keliling" ini memiliki kisah panjang. Sebelum muncul gerobak, orang di Jawa lebih mengenal pikulan. Pikulan ini sebenarnya bisa digunakan untuk macam-macam barang, mulai dari produk perkebunan, barang kelontong, hingga makanan itu sendiri. Pikulan itu berasal dari kata pikul yang berasal dari salah satu bahasa di China. Awalnya pikul digunakan sebagai satuan berat. Satu pikul beratnya sekitar 60 kilogram. Di Indonesia disebutkan satu pikul setara 62,5 kg, sedangkan di negara lain ada yang menyebut setara dengan 60 kg atau ada pula sekitar 60,48 kg. Ukuran pikul ini masih digunakan di beberapa tempat seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Ukuran berat itu dipastikan masuk ketika warga

China bagian selatan bermigrasi ke Nusantara. Aktivitas perdagangan mereka menjadikan mereka membutuhkan sarana untuk mendistribusikan barang mereka. Sarana yang memungkinkan adalah pikulan itu. Dari penggunaan pikulan untuk mengukur berat, sarana itu berkembang menjadi alat untuk membawa berbagai jenis barang.
Foto-foto tahun 1830-an yang terdapat di dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik memperlihatkan berbagai jenis pikulan. Pedagang etnis

China menggunakan alat tersebut untuk menjual berbagai jenis barang termasuk makanan. Salah satu foto memperlihatkan sejumlah orang berkumpul yang di antara mereka terdapat pedagang makanan dengan pikulan. Gambar ini sekaligus memperlihatkan jalur distribusi sudah dikuasai oleh etnis Tionghoa. Ukuran pikul digunakan oleh Belanda ketika berkuasa di Nusantara. Beberapa komoditas yang diekspor, terutama produk perkebunan seperti tembakau, menggunakan satuan pikul. Dalam perkembangannya, pikulan bukan hanya digunakan oleh pedagang etnis Tionghoa, tetapi juga pedagang setempat. Pikulan untuk makanan biasanya berupa dua kotak berukuran besar atau kecil yang terbuat dari kayu dihubungkan dengan bambu yang melengkung. Bagian ujung atas kotak biasanya dihubungkan ke ujung pengangkat dengan bambu, rotan, atau tali. Satu kotak biasanya berisi anglo atau kompor yang digunakan untuk memanaskan makanan. Satu kotak lainnya berisi seperti bahanbaku makanan, piring, dan juga alat-alat memasak lainnya. Pada mulanya pikulan menggunakan bahan dari kayu, tetapi belakangan menggunakan bahan dari aluminium dan seng.
Gerbang desa

Penjual makanan akan mengangkat pikulan ini di bagian tengah sehingga seimbang ketika berjalan. Mereka biasanya berhenti di pertigaan atau perempatan jalan kampung. Pemilihan pertigaan dan perempatan boleh jadi karena tempat tersebut merupakan tempat yang ramai karena menjadi persilangan pertemuan warga dari berbagai arah. Pikulan makanan itu juga berhenti di tempat yang diperkirakan banyak penduduk berkumpul, seperti gardu. Gardu menjadi tempat pertemuan warga baik untuk meronda maupun kadang untuk sekadar mengobrol. Di samping itu, penjual makanan dengan pikulan juga berhenti di gerbang desa, seperti yang terlihat dalam foto di buku Java: Eerste Deel atau foto tahun 1920-an koleksi KITLV yang termuat di buku Penjaga Memori; Gardu di Perkotaan Jawa. Warga biasa keluar masuk desa melalui gerbang desa sehingga tanpa perlu berjalan jauh pedagang makanan bisa menjangkau para calon pembelinya. Di samping dengan teriakan yang khas, pedagang makanan juga memukul bambu kecil atau kentungan kecil dengan ketukan yang khas sehingga para calon pembeli tanpa perlu melihat makanan yang dijual mereka sudah bisa mengetahui jenis makanannya. Eksotisme "dapur keliling" dengan menggunakan pikulan sudah makin jarang ditemukan. Miniatur pikulan itu sendiri sudah menjadi salah satu koleksi Museum Nasional, Jakarta. Sangat mungkin pikulan ini sebentar lagi menjadi barang antik karena tidak ada lagi pedagang makanan yang menggunakan pikulan. Kondisi udara yang makin panas dan lalu lintas yang padat di berbagai tempat sangat mungkin menjadikan pedagang keliling ini mudah lelah dan tidak mau lagi berjualan dengan pikulan. Pikulan memang terlihat kurang praktis dan melelahkan pedagang yang membawanya. Sejumlah hotel dan rumah makan masih menampilkan pikulan di salah satu sudutnya sebagai alat untuk menarik pengunjung. Pikulan menjadi daya tarik agar mengesankan makanan yang dibuat benar-benar tradisional baik bumbu maupun cara penyajiannya. Cara ini sangat tepat di tengah maraknya kuliner yang cenderung menyukai kembali makanan-makanan tradisional. Hanya pedagang tua yang masih menjalankan pekerjaan ini di sejumlah

kota kecil, seperti terlihat di Museum Kereta Api di Ambarawa, Kabupaten Semarang. Pedagang ini sudah lama berjualan sate dan tongseng di halaman museum. Dari mulai membuat bumbu hingga membakar sate dilakukan di pikulan itu. Satu tempat duduk kecil menjadi sarana penjual ini agar tidak lelah dalam meracik sate dan tongseng. Penggunaan gerobak dengan dua roda memang menggantikan pikulan karena lebih praktis dan meringankan. Pergantian dari pikulan ke gerobak roda dua diperkirakan tahun 1980 ketika sejumlahkota makin panas dan jalan-jalan makin sempit. Akan tetapi, gerobak ini pun tidak bisa lagi sembarangan berjalan. Sejumlah pengelola perumahan melarang masuk para pedagang keliling ini. Belum lagi, sejumlah restoran dan warung makan bisa menerima panggilan sehingga tanpa perlu keluar rumah, para penghuni rumah bisa mendapat makanan hanya dengan memencet nomor telepon. Dalam hitungan menit, makanan sudah tersedia di depan pintu. Suatu saat "dapur keliling" bisa musnah.

Sumber: Kompas, Kamis, 06 Desember 2007

0 comments:

About This Blog

Lorem Ipsum

  © Free Blogger Templates Skyblue by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP