|
PEDAGANG empal gentong melayani pembelinya di sebuah festival makanan tradisional di IBCC Bandung, pekan lalu. Saat ini, kecenderungan pilihan masyarakat kembali ke makanan kampung, menimbulkan fenomena yang cukup menggembirakan.* DUDI SUGANDI/”PR” |
MEREKA yang belum pernah lagi menginjakkan kaki ke Bandung selama lima atau enam tahun belakangan ini, mungkin akan merasakan atmosfer yang berbeda jika datang ke kota ini sekarang.
Beberapa tahun lalu, berjalan-jalan di sini terasa tengah berada di Eropa. Bukan karena tiba-tiba turun salju, tapi karena begitu mudah mendapatkan makanan khas negara Eropa di kota yang sebenarnya kaya dengan makanan lokal ini.
Tak hanya restoran besar, warung pinggir jalan pun menyediakan menu steak sebagai sajian utama. Makan makanan orang bule, pada masa itu menjanjikan naiknya harga diri alias gengsi.
"Waktu itu malu rasanya mengakui belum mengetahui apa bedanya sirloin dan tenderloin steak," kata Wijaya (35), mengenang motivasi utamanya saat mencoba mengonsumsi makanan Eropa ini.
Di kalangan anak sekolah kota besar, merayakan ulang tahun teman berarti menyantap steak, piza, atau spageti.
"Teman-teman yang punya uang banyak biasanya merayakannya di restoran-restoran besar. Yang anggaran ulang tahunnya terbatas dari ortu, boleh mentraktir di warung-warung steak pinggir jalan," kata Taya (20), mahasiswi Universitas Padjadjaran Bandung. Masa tergila-gila makanan Eropa ini dialami Taya saat ia duduk di bangku SMP dan berlanjut hingga SMU, 6 tahun ke belakang.
Kini cobalah bertanya pada anak sekolah menengah. Selain menu makanan Eropa, pilihan mereka lebih beragam. Masih memakai seragam sekolah, di sebuah restoran yang menyajikan makanan tradisional khas Sunda mereka berlomba menyendok nasi dari bakul, setelah sebelumnya beramai-ramai menyanyikan lagu ulang tahun.
"Beberapa teman yang berulang tahun sekarang memang sering mengajak makan di restoran tradisional. Rasanya unik aja gitu, bosen juga sih makan steak," kata Wita (16), siswi sebuah SMA favorit di Kota Bandung.
Di kalangan dewasa, pamor makanan tradisional sudah lebih dulu mencuat. Pada rapat-rapat di perkantoran, organisasi, seminar, dan sebagainya, orang pernah begitu fanatik dengan kue-kue kecil rasa Eropa, seperti kue keju dan tar. Kini makanan itu sedikit demi sedikit mulai tereliminasi, tergantikan oleh jajan pasar yang dikemas lebih menarik, rapi, dan enak tentu saja.
Seperti perdebatan lebih dulu mana antara telur dan ayam, begitu juga yang terjadi di dunia kuliner.
Entah karena semakin banyak pelanggan yang ingin back to basic, maka warung, restoran bahkan hotel berbintang pun menyediakan menu "kampung". Atau karena semakin banyak tempat yang menyediakan menu tradisional sehingga selera masyarakat tergiring? Tak jadi soal, lingkaran ini membuat orang sadar ternyata makanan khas Indonesia pun enak, bahkan lebih oke di lidah kita.
KECENDERUNGAN pilihan masyarakat kembali ke makanan kampung, menimbulkan fenomena yang mencengangkan. Baik individu maupun pengusaha makanan berlomba menjadi yang paling "kampungan". Nama-nama tempat yang menjanjikan suasana kampung pun bertebaran di mana-mana.
Bahkan sebuah restoran yang menyajikan makanan khas Sunda, melalui iklannya yang dipasang di pinggir jalan tol menuju gerbang tol Pasteur, menjanjikan pelanggannya akan merasakan suasana dan makanan "kampung" di tempatnya.
Dengan moto, "ternyata masih kampungan", reklame ini menggiring masyarakat yang ingin merasakan nikmatnya makanan "kampung" mengunjungi tempat yang ditata bersuasana kampung juga. Dengan musik pengiring lagu Sunda, di restoran tersebut orang duduk dalam bangku-bangku yang terbuat dari bambu khas desa.
Restoran ini termasuk pendatang baru di Kota Bandung. Jauh sebelumnya sudah bermunculan restoran "kampung" lainnya. Untuk mendapatkan suasana desa, bahkan pengusaha berani melakukan investasi besar membangun sebuah restoran yang mencerminkan suasana desa.
Fenomena ini juga terjadi di luar Kota Bandung. Salah satu pencitraan kampung melalui papan nama. Mendengar nama Restoran "Mulih Ka Desa" yang berada di Garut, image langsung terpeta dengan suasana dan makanan khas kampung.
Selain Mulih Ka Desa, ada lagi restoran bernuansa kampung di daerah Garut yang berhasil mencuri perhatian masyarakat. Selain makanan juga karena atmosfer desa yang sangat kental. Sebut saja Restoran Sari Papandayan yang berada di daerah Cisurupan, tepat di depan Gunung Cikurai Garut.
Menurut sang pimpinan resto sekaligus bungalo, Sulaeman Abdurachim (47), sejak dibuka tahun 2005 lalu, tingkat kunjungan ke tempat ini mengalami kenaikan yang sangat berarti. "Hingga delapan puluh persen," kata Sulaeman.
Sulaeman memanfaatkan benar suasana pedesaan. Ia menyinkronkan menu masakan tradisional dengan tempat makanan berupa lesehan.
Soal atmosfer desa inilah yang membuat Sofyan (45) dan keluarganya senang berpetualang mencari pengganjal perut di tempat yang "bernada" kampungan ini.
"Di tempat seperti ini, saya tidak usah sibuk memikirkan sopan santun. Tak usah sibuk memilih giliran sendok mana yang harus digunakan," kata Sofyan sambil tertawa.
Yang dimaksud Sofyan, jika menyantap makanan Eropa tentu saja ia harus memikirkan etiket makanan. Table manner mengharuskan orang menggunakan sendok yang tepat untuk menyantap sup, makanan utama atau makanan penutup.
Senada dengan Sofyan, ada Cyndy (42, sebut saja begitu), yang sangat menyukai makan di tepat yang ada lesehan ala kampung. "Saya selalu mencari tempat makan yang ada lesehannya. Di sini saya bisa selonjoran, bersila atau menumpangkan tangan di kaki, makan seperti abang becak. Ha..ha..ha," kata penduduk Jakarta yang sedang berakhir pekan di Bandung, Sabtu lalu.
Tren kembalinya selera masyarakat ke makanan lokal diakui pula oleh Avianti Sukarmadijaya (27) pemilik Def Resto, sebuah restoran yang menyajikan makanan khas Sunda, di Jalan Cihampelas Bandung.
"Tampaknya orang sudah mulai bosan dengan makanan luar negeri. Ini membuat mereka kembali ke masakan tradisional," ujar Avi yang sudah menyajikan makanan lokal seperti nasi liwet, nasi tutug oncom hingga nasi liwet sejak tahun 2003.
Sebelum tahun itu, masih sulit orang mendapatkan nasi tutug oncom atau nasi liwet di rumah makan. Kini rumah makan dengan penawaran jenis masakan itu bertaburan bak cendawan di musim hujan.
Bukan saja makanan khas Sunda. Di daerah Parahyangan ini pun makanan asal seberang pulau berani tampil. Makin banyak restoran yang mengkhususkan diri menyajikan makanan khas seberang, dari mulai mi Aceh hingga makanan melayu lainnya.
Bahwa makanan resep nenek ternyata bisa dijual tak lepas dari heboh-heboh antrean makanan tradisional di beberapa tempat. Sebut saja nama "Surabi Imut" di kawasan Jln. Setiabudhi. Walau harus antre dan menunggu, mereka tak keberatan menunggu giliran penjual selesai membakar serabi pesanan mereka.
Orang-orang kreatif di belakang makanan tradisional inilah yang memelopori bangkitnya makanan lokal. Betapa tidak kreatif, serabi yang aslinya hanya dua rasa, oncom dan kinca gula, bisa dimodifikasi mulai dari rasa sosis hingga keju.
Kemasan yang dibuat orang-orang modern inilah salah satu faktor yang menyadarkan orang bahwa jika dikemas dengan baik makanan tradisional bisa punya nilai lebih. (Uci Anwar).
Sumber: Pikiran Rakyat, Jumat, 25 Mei 2007.
Read more...